Pengertian Panama Papers
Panama
Papers adalah kumpulan dokumen rahasia sebanyak 11,5 juta dokumen yang
dibuat oleh penyedia jasa perusahaan asal Panama, Mossack Fonseca, yang
didirikan oleh Jürgen Mossack dan Ramón Fonseca. Dokumen ini berisi
informasi rinci mengenai lebih dari 214.000 perusahaan luar negeri,
termasuk identitas pemegang saham dan direkturnya, yang dimiliki oleh
Mossack Fonseca.
Mossack
Fonseca & Co. adalah kantor hukum dan penyedia jasa perusahaan
Panama yang berbasis di Panama. Mossack Fonseca & Co memiliki lebih
dari 40 cabang di seluruh dunia. Kantor ini didirikan oleh Jürgen
Mossack tahun 1977 dan kemudian dikembangkan oleh Ramón Fonseca pada
tahun 1986.
Berawal dari Süeddeutsche Zeitung
Bocoran Panama Papers didapatkan seorang sumber yang enggan disebutkan namanya dari surat kabar asal Jerman, Süddeutsche Zeitung. Menurut situs thereportertimes.com, bocoran kemudian dibagikan ke seluruh dunia oleh International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ).
Dokumen-dokumen
Panama Papers telah diteliti oleh sekitar 400 orang jurnalis dari 80
negara di dunia dan lebih dari 100 organisasi media.
Organisasi-organisasi media besar seperti BBC, Guardian, Süddeutsche
Zeitung, Falter, dan lain-lain turut terlibat dalam studi ini.
Lebih dari
setahun lalu, sebuah sumber yang tak diketahui namanya menghubungi surat
kabar terkemuka Jerman, Süddeutsche Zeitung (SZ). Sumber itu memberikan
dokumen-dokumen internal Mossack Fonseca kepada SZ. Surat kabar Jerman
tersebut akhirnya meneliti dokumen-dokumen yang kabarnya berukuran 2,6
terbita data. Ukuran yang luar biasa inilah yang membuat Panama Papers
dianggap sebagai kebocoran dokumen terbesar dalam sejarah.
Fenomena
Panama Papers pada dasarnya tidak terlepas dengan isu perencanaan pajak
(tax planning), penghindaran pajak (tax avoidance) dan penggelapan pajak
(tax evasion), di mana ketiganya sudah lama menjadi persoalan
tersendiri bagi banyak Negara. Tax planning diartikan sebagai
usaha-usaha wajib pajak dalam rangka meminimalkan pembayaran pajaknya
baik untuk masa sekarang ataupun di masa yang akan datang. Upaya tax
planning inilah yang berujung pada bentuk penghindarann atau penggelapan
pajak.
Menurut
perhitungan dari Tax Justice Network, pada tahun 2010 estimasi aliran
dana dari Indonesia ke negara-negara tax haven diperkirakan mencapai USD
331 miliar. Angka tersebut hanya mengacu pada aset keuangan saja, tidak
termasuk aset lainnya seperti real estate, emas batangan, dan
sebagainya.
Lalu apakah yang dimaksud dengan tax haven? Menurut OECD, tax haven memiliki karakteristik sebagai berikut:
- memiliki tarif pajak yang rendah atau tidak ada pajak sama sekali;
- tidak memiliki skema pertukaran informasi. Ini memungkinkan mereka yang memanfaatkan tax haven tidak terdeteksi oleh otoritas pajak;
- tidak adanya transparansi dalam proses legislasi, proses hukum dan administrasi dalam yurisdiksi tersebut;
- tidak adanya persyaratan bahwa sebuah usaha harus memiliki substansi ekonomi. Hal ini membuat banyak entitas hanya didirikan di yurisdiksi tersebut hanya untuk mendapatkan manfaat pajak saja, tanpa benar-benar memiliki kegiatan bisnis yang substansial.
Selain
keempat kriteria tersebut, masih banyak lagi kriteria lain yang
digunakan, misalnya: negara tersebut memiliki tata kelola pemerintahan
yang baik, kemudahan dalam penggunaan special vehicles company,
kemudahan dalam mendirikan perusahaan, longgarnya pengawasan, dan
kemudahan-kemudahan pajak yang hanya tersedia bagi SPDN yurisdiksi itu
saja (ring fencing). Banyaknya kriteria tersebut membuat banyak pula versi dari daftar tax haven
itu sendiri. Namun, dari sekian banyak kriteria yang ada, agaknya
definisi dari Palan, Murphy, dan Chavagneux (2010) dirasa paling tepat,
yaitu: yurisdiksi yang secara khusus membuat peraturan untuk memudahkan
transaksi yang dilakukan oleh non-residen dengan maksud untuk
menghindari pajak atau regulasi, yang mana difasilitasi dengan cara
memberikan kerahasian guna mengamankan pihak penerima manfaat dari
transaksi tersebut.
Nama
sejumlah pengusaha Indonesia tercantum dalam dokumen Panama Papers.
Mereka disebut memiliki sejumlah perusahaan di negara tax haven, melalui
bantuan firma hukum Mossack Fonseca.
Menurut
Pengamat Pajak, Darussalam, masalah seperti ini bisa diatasi dengan
segera disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Tax Amnesty atau
Pengampunan Pajak. Aturan tersebut kini mulai dibahas oleh pemerintah
dan DPR.
“Jalan
terbaiknya adalah dengan tax amnesty, daripada melakukan klarifikasi,
pemeriksaan, penyelidikan, jalan paling tercepat adalah tax amnesty.
Artinya, mereka ungkapkan aset-aset atau transaksi keuangan yang melalui
tax haven dan kalau merepatriasi dananya ke luar negeri, maka cukup
membayar uang tebusan dengan tarif rendah. Selain itu, tax amnesty bisa
menjadi masa transisi untuk menuju era pertukaran data informasi
keuangan antar negara pada 2017 nanti. “Tahun 2016 ini adalah tahun
terakhir untuk menerapkan tax amnesty, karena setelah tahun ini, di 2017
tak akan relevan lagi karena ada pertukaran data informasi keuangan
itu. Setelah tahun ini, tak ada relevansinya lagi tax amnesty. Tax
amnesty ini adalah kesempatan terbaik untuk menyelesaikan masalah
perpajakan yang ada selama ini di Indonesia, daripada gaduh,” tutur
Darussalam.
Dia
menambahkan, bagi para pengusaha yang tak mau mengikuti tax amnesty,
maka harus menjalani pemeriksaan. Jika perlu, dilanjutkan ke penyidikan
apabila terbukti ada unsur pidana perpajakan.
Menaruh Uang di Luar Negeri
Jika ada
yang bertanya apakah salah orang Indonesia menaruh uang di luar negeri,
jawaban singkatnya adalah jelas tidak ada yang salah. Secara normatif
menyimpan uang, berinvestasi, atau mendirikan perusahaan di luar negeri
adalah lazim dalam dunia usaha dan tidak ada larangan.
Beberapa
alasan mengapa orang-orang kaya atau perusahaan Indonesia gemar
menyimpan uang di luar negeri, salah satunya alasan keamanan. Mereka
berusaha mengurangi risiko dengan menempatkan uangnya sebagian di
bank-bank luar negeri, terutama di negara yang dekat dengan Indonesia
seperti Singapura dan Australia yang secara ekonomi dan politik relatif
lebih stabil.
Mengikuti prinsip umum berinvestasi untuk tidak menaruh telur dalam satu keranjang (don’t put your eggs in one basket),
banyak orang-orang kaya menyimpan uang, membeli saham, atau properti di
negara lain dengan pemikiran bahwa jika terjadi sesuatu yang buruk
dengan investasinya di negara sendiri, maka masih ada uang atau
investasi yang tersisa di luar negeri. Bagi suatu perusahaan, penempatan
dana, investasi dan pendirian perusahaan di luar negeri adalah biasa
dalam rangka diversifikasi portofolio investasi dan ekspansi bisnis.
Sepanjang orang-orang dan
perusahaan-perusahaan Indonesia yang menaruh uangnya di luar negeri
tersebut adalah Subjek Pajak Dalam Negeri dan telah melaporkan secara
benar seluruh harta dan penghasilan yang diperoleh dari luar negeri
tersebut di Indonesia–dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan (SPT PPh) Orang Pribadi dan Badan–maka tidak ada masalah
terkait pajak.
Untuk Wajib Pajak Dalam Negeri di Indonesia, konsep pemajakannya menganut broad based taxation yang objek pemajakannya adalah worldwide income. Artinya, semua penghasilan yang diperoleh dari dalam maupun luar negeri wajib dilaporkan untuk dihitung PPh-nya di Indonesia.
Atas pajak
penghasilan yang dibayarkan di negara lain terkait langsung dengan
penghasilan luar negeri yang dilaporkan di Indonesia dapat
diperhitungkan dengan pajak terutang di Indonesia sebagai pengurang
(kredit pajak) berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku.
Selain yang
berstatus Subjek Pajak Dalam Negeri, terdapat kelompok orang Indonesia
yang termasuk kategori Subjek Pajak Luar Negeri, yaitu orang yang
bertempat tinggal di luar negeri atau orang yang berada tidak lebih dari
183 hari di Indonesia dalam jangka waktu 12 (dua belas bulan).
Misalnya, seorang WNI yang bekerja di Australia dan menjadi permanent resident di
sana dan hanya sesekali pulang ke Indonesia selama 2-3 minggu untuk
berlibur setiap tahunnya adalah termasuk Subjek Pajak Luar Negeri yang
tidak diwajibkan memiliki NPWP di Indonesia dan hanya dipajaki di
Indonesia terbatas pada penghasilan yang diperoleh Indonesia saja.
Dengan kata lain sepanjang WNI berstatus Subjek Pajak Luar Negeri
tersebut tidak memperoleh penghasilan dari Indonesia, mereka tidak akan
dikenakan pajak di Indonesia. Yang jadi masalah adalah apabila uang atau
investasi di luar negeri oleh Subjek Pajak Dalam Negeri berasal dari
penghasilan yang belum dilaporkan atau belum dikenai pajak di Indonesia.
Selain itu,
hasil dari investasi di luar negeri tersebut juga tidak dilaporkan dalam
SPT Tahunan PPh-nya. Kalau ini jelas merupakan perbuatan melanggar
hukum berupa penggelapan pajak (tax evasion). Indikasi penggelapan pajak lebih tampak jika penempatan dana tersebut di negara-negara surga pajak (tax haven). Sebab, jika orang-orang kaya Indonesia murni ingin mendapatkan keuntungan dari investasi, tidak perlu jauh-jauh ke negara tax haven karena
Indonesia merupakan salah satu negara tujuan orang dan perusahaan asing
berinvestasi. Hal ini terbukti dari banyaknya investasi asing yang
masuk ke negara ini. Investor di Bursa Efek Indonesia sejak lama
didominasi oleh investor asing.
Negara Tax Haven
Julukan negara tax haven selama
ini melekat pada negara-negara yang mengenakan tarif pajak sangat
rendah atau bahkan tidak mengenakan pajak sama sekali. Negara-negara
tersebut sangat ketat dalam menjaga kerahasiaan serta tidak bersedia
melakukan pertukaran informasi dengan negara lain. Negara-negara tax haven sangat menarik bagi orang atau perusahaan yang gemar melakukan penyelundupan pajak (tax evasion) atau perencanaan penghindaran pajak secara agresif (agressive tax panning) melalui berbagai rekayasa transaksi keuangan.
Lebih dari itu, negara-negara tax haven menjadi
tempat favorit bagi para koruptor, mafia perdagangan narkotika maupun
pelaku tindak kriminal untuk melakukan pencucian uang (money laundering). Beberapa negara tax haven yang populer antara lain adalah British Virgin Island, Luxembourg, Bahama, dan Cayman Island.
Pendirian perusahaan sebagai Special Purpose Vehicle (SPV) atau disebut juga dengan Shell Company di luar negeri (off-shore), terutama di negara tax haven, sering
ditujukan untuk melakukan penghindaran pajak dengan pola atau skema
transaksi yang sangat canggih, sehingga sulit dilacak siapa pemilik atau
penerima manfaat sebenarnya (ultimate beneficial owner) dari suatu investasi atau modal perusahaan.
Namun
demikian, ada juga pendirian SPV yang tidak dimaksudkan untuk
menggelapkan pajak. Beberapa perusahaan nasional Indonesia menerbitkan
obligasi melalui SPV yang didirikan di luar negeri dengan jaminan aset
perusahaan tersebut.
Pendirian
SPV di luar negeri dalam hal ini untuk memudahkan akses dana di pasar
global. Dana yang murah (jika dibandingkan dengan bunga obligasi di
dalam negeri) yang diperoleh SPV di luar negeri, kemudian disalurkan ke
perusahaan di Indonesia sebagai pinjaman. Pembayaran bunga pinjaman oleh
perusahaan ke SPV di luar negeri lalu digunakan untuk membayar bunga
obligasi kepada pemegang obligasi (bond holders).
Maraknya penghindaran dan penggelapan pajak secara global, terutama yang melibatkan negara-negara tax haven
mendorong negara-negara yang tergabung dalam G-20 termasuk Indonesia
sebagai salah satu anggotanya bersama Organisasi untuk Kerja Sama dan
Pembangunan Ekonomi atau The Organisation for Economic Cooperation and
Development (OECD) bersepakat untuk mencegah dan memeranginya melalui 15
rencana aksi terhadap apa yang dikenal dengan Base Erosion Profit
Shiting (BEPS).
Salah satu realisasi dari aksi tersebut komitmen untuk melakukan pertukaran informasi secara otomatis (automatic exchange of information)
antar negara yang akan mulai diadopsi lebih awal di tahun 2017 dan
berlaku penuh di tahun 2018. Pertukaran informasi ini akan mempersempit
ruang gerak para individu dan perusahaan pengemplang pajak karena data
nasabah perbankan antar negara akan saling dipertukarkan. Negara yang
tidak bersedia bekerja sama dalam pertukaran informasi akan dimasukkan
dalam black list.
Belum Tentu Pengemplang Pajak
Sejumlah
2961 nama orang dan perusahaan Indonesia yang tercantum dalam Panama
Papers, termasuk beberapa pengusaha dan politikus terlalu dini untuk
dicap sebagai kelompok yang melakukan penggelapan pajak tanpa terlebih
dahulu melakukan pembuktian.
Data-data
dalam pemberitaan baru terbatas pada penyebutan nama saja, sedangkan
berapa banyak dana, dalam bentuk apa dana tersebut, dan ditaruh di
negara mana semuanya belum terungkap. Pertama, harus divalidasi dulu
kebenaran nama-nama WNI dalam daftar tersebut dan perlu diidentifikasi
apakah nama-nama WNI tersebut merupakan Subjek Pajak Dalam Negeri atau
Subjek Pajak Luar Negeri. Penelitian tentu difokuskan kepada WNI yang
statusnya sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri yang kewajiban perpajakannya
memang bersifat worldwide income.
Pembandingan
juga diperlukan terhadap data orang-orang tersebut yang dimiliki oleh
Direktorat Jenderal Pajak (jika ada). Akhirnya pencocokan antara harta
dan penghasilan yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh WP Orang Pribadi
dengan data-data dari Panama Papers akan menentukan apakah orang-orang
tersebut pengemplang pajak atau bukan. Hal yang sama juga perlu
dilakukan terhadap perusahaan-perusahaan yang namanya masuk dalam
daftar.
Bocoran data
Panama Papers tentu saja menjadi data penting sebagai pembanding bagi
Direktorat Jenderal Pajak untuk penelitian lebih lanjut. Khususnya pada
saat program Tax Amnesty yang diharapkan oleh pemerintah disetujui oleh
DPR untuk dilaksanakan dalam tahun ini dan untuk langkah lain yang
perlu dilakukan untuk pemungutan pajak sesuai peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku di Indonesia.
sumber referensi :