Rabu, 08 Januari 2014

Microfinance

Pengertian dan kriteria Usaha Mikro, Kecil dan Menengah adalah sebagai berikut,

Usaha Mikro
Kriteria kelompok Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Usaha Kecil
Kriteria Usaha Kecil Adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.

Usaha Menengah
Kriteria Usaha Menengah Adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini

Perkembangan Microfinance di Indonesia

Kuatnya ketahanan Indonesia dari dampak krisis yang terjadi sekarang ini salah satunya adalah ditopang dari sektor UMKM, yang mana pada dasarnya sektor UMKM adalah target inti dari pada sasaran microfinance. Pasar microfinance sendiri di Indonesia pertumbuhannya sangat cepat, hal ini dikarenakan microfinance mempunyai peran penting dalam memacu pertumbuhan ekonomi, baik di daerah pedesaan maupun di perkotaan. Selain menjadi alat untuk meningkatkan produktifitas ekonomi, microfinance juga menjadi alat untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat. Hal inilah yang sepatutnya menjadi perhatian pemerintah untuk lebih memberdayakan masyarakatnya dalam bidang perekonomian, dengan mengembangkan microfinance di Indonesia guna memperkuat ketahanan Indonesia dari dampak krisis yang terjadi saat ini.

Pengembangan microfinance bisa menjadi solusi untuk permasalahan krisis global, karena microfinance sendiri target pasarnya adalah masyarakat menengah kebawah yang mana dalam aktifitas usahanya tidak terkena efek domino secara langsung dari krisis global yang terjadi dibanyak belahan dunia saat ini. Usaha kecil menengah (UKM) adalah sektor yang paling banyak mendapatkan manfaat dari microfinance, hal ini dikarenakan modal yang dibutuhkan oleh UKM tidakbesar, sehingga masih bisa dicakup oleh microfinance. Sektor UKM sendiri adalah salah satu sektor penyumbang terbesar pemasukan PDB Negara. Selain itu sektor UKM juga sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Melihat hal ini, begitu besarnya manfaat microfinance untuk pertumbuhan ekonomi masyarakat dengan pembiayaan-pembiayaan yang disalurkannya guna menumbuh kembangkan usaha-usaha kecil menengah.

Dalam penerapan microfinance, pemerintah bisa bekerjasama dengan lembaga-lembaga keuangan yang ada, terutama lembaga syariah. Kalaupun tidak, pemerintah bisa membuat program ataupun lembaga microfinance sendiri yang memang tujuan dan pencapaiannya jelas. Memang saat ini pemerintah sudah menggalakkan pembiayaan pada sektor UKM, tapi pada faktanya hal tersebut belum berjalan optimal. Inilah yang terjadi saat ini, kurangnya keberpihakan pemerintah terhadap rakyat kecil menjadi pemicunya. Dulu, pada tahun 2005, presiden Susilo Bambang Yudoyono mencanangkan tahun 2005 sebagai “Tahun Keuangan Mikro Indonesia”.Tapi hal tersebut masih belum ada tanggapan yang serius dari pemerintah. Banyak kalangan LKM (lembaga keuangan mikro) mengatakan “bahwasannya Keberpihakan pemerintah terhadap pengembangan keuangan dan usaha mikro masih sebatas diatas kertas”. Seperti yang diungkapkan Muchtar Abbas, Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Usaha dan Nani Zulminarni, Koordinator Nasional Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA).

Memang, sector usaha mikro yang umumnya informal tidak dilihat sebagai bagian dari perekonomian nasional, pemerintah lebih terfokus terhadap usaha-usaha yang bersekala besar. Tidak heran ketika bank-bank milik konglomerat mengalami kolaps, pemerintah langsung memberikan subsidi triliunan rupiah. Sebaliknya, ketika LKM yang pada dasarnya berperan langsung sebagai pembantu pemerintah dalam memberikan akses kredit kepada rakyat miskin, kurang dipedulikan. Bahkan disuruh mengikuti bunga pasar tanpa subsidi.

Lantas, apa yang salah pada pemerintah?. Ekonom UI, Faisal H. Basri menyebutkan tiga kesalahan pemerintah dalam masalah microfinance dan usaha mikro. Yaitu pertama, tidak adanya keberpihakan dari pemerintah. Kedua, tidak adanya visi yang jelas. Misalnya dalam persoalan usaha kecil, pemerintah menitipkan undang-undang yang mengatur usaha kecil dalam banyak undang-undang kegiatan usaha lainnya. ketiga, menyamaratakan perlakuan terhadap segala jenis dan ukuran usaha. Seandainya tiga hal ini bias diperbaiki olehpemerintah, tidak mustahil microfinance di Indonesia akan lebih maju dan berkembang, yang mana hasil yang akan dicapai adalah ketahanan perekonomian Indonesia terhadap krisis global yang terjadi saat ini.

Sudah saatnya Indonesia menjadi Negara yang besar dan maju, gelar macan asia yang sempat Indonesia sandang harus kita ambil kembali, bahkan kalau perlu bukan macan asia lagi, tapi macan dunia. Tapi kembali lagi kepada kitanya sendiri, sejauh mana usaha kita untuk menggapai semuanya itu, terutama dari pihak pemerintah. Sekarang kita masih disibukkan dengan kasus-kasus korupsi yang sampai detik inipun belum tuntas, bahkansemakinbertambahkasusnya.

Ada bebera pahal yang harus dilakukan pemerintah untuk pemberdayaan microfinance secara maksimal. Yaitu, pertama, Pemerintah menerbitkan Undang-undang atau Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang LKM, dan mewajibkan setiap desa untuk mendirikan LKM. Kedua, Pembinaan dan pengawasan LKM dilakukan oleh satu lembaga yang mempunyai pengalaman membina LKM. Ketiga, Pemerintah daerah bekerjasama dengan lembaga perbankan / keuangan mikro untuk memberi pelatihan terhadap para pengurus LKM yang ada di desa-desa. Kalau pemerintah bisa mengoptimalkan beberapa hal tersebut, bukan tidak mungkin perekonomian yang didukung oleh microfinance akan terus berkembang dan maju.

Intinya, solusi apapun yang ditawarkan pada pemerintah, tanpa adanya tindakan yang riil dari pihak pemerintah, hanya akan menjadi sebatas solusi semata. Oleh karena itu, perlu adanya optomalisasi dalam setiap program yang akan dijalankan pemerintah, termasuk pegembangan microfinance. Indonesia adalah Negara yang besar, Indonesia pantas menjadi Negara yang disegani oleh Negara-negara lain di dunia, tergantung kita bagaimana membuat Negara ini menuju kearah yang semua masyarakat Indonesia harapkan, Yaitu kesejahteraan.

Sumber :

Credit Union Indonesia

Gerakan Koperasi Kredit Indonesia sudah mulai muncul di Indonesia sejak tahun 1970 ide awal datang dari  staf Woccu yang namanya AA. Bailey dan Agustine R. Kang berkunjung ke Indonesia pada tahun 1967 dan diterima oleh suatu Lembaga Swadaya di Indonesia yaitu MAWI (Majelis Wali Gereja Indonesia) seksi sosial ekonomi. Beberapa Rohaniwan Katholik yang ditugaskan untuk pengembangan sosial ekonomi dan khusus untuk pengembangan Credit Union ditugaskan kepada Rev.Karl Albrecht, SY yang dikenal dengan nama Indonesia adalah Romo Albrecht Karim Arbie, SY sebagai pendiri Credit Union di Indonesia. Setelah nama tersebut muncul nama-nama berikut antara lain; Robby Tulus, AG. Lunandi, M. Woeryadi, P.M Sitanggang, Ibnoe Soedjono, H.Woeryanto dan lain-lain yang namanya tidak dapat disebut satu persatu.

Saat itu Rev.Karl Albrecht, SY dan bersama teman-teman mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat  yang disebut dengan CUCO (Credit Union Counselling Office) pada tahun 1970 yaitu suatu lembaga untuk memberikan konsultasi kepada msyarakat untuk mengembangkan Credit Union di seluruh wilayah Indonesia. Gagasan ini awalnya kurang mendapat tanggapan positif dari Pemerintah bahkan juga sebagian warga Gereja Katolik tidak menerimanya, karena masih trauma dengan terjadi begitu banyak koperasi di Indonesia dimasa lalu namun Romo Albrecht dan kawan-kawan tetap menjalankanya. Sekitar akhir tahun tujuh puluan, Romo Albrecht hanya setahun menjadi Directur CUCO dan mengundurkan diri selanjutnya diserahkan tugasnya kepada Drs. Robby Tulus untuk melanjutkan usaha pengembangan Credit Union di Indonesia. Mulai akhir tahun 1970 data Credit union sudah mulai dicatat sebanyak 9 CU, jumlah anggota 763 orang dan total Asset Rp.1.342.570,-

Pada masa rejim Pemerintahan ORBA pertumbuhan Credit Union sangat terhalang dengan adanya Peraturan Pemerintah lewat Instruksi Presiden No.4 tahun 1984 yang intinya melarang Koperasi, selain Koperasi Unit Desa yang ada di pedesaan. Dengan demikian Credit Union banyak yang melaksanakan kegiatan dengan sembunyi karena takut di bubarkan oleh Pemerintah, terutama di pedesaan. Namun setelah rjim ORBA berakhir dan muncul rejim Revormasi maka Inpres No. 4 tahun 1984 dihapus dan tidak berlaku lagi dan mulai saat itulah pengembangan Credit Union mulai bebas untuk berkumpul dan melaksanakan pendidikan baik di kota maupun di daerah pedesaan. Mulai saat itulah para penggerak mulai melakukan aktivitas penumbuhkan benih-benih Credit Union di seluruh Indonesia.

Dalam usaha menumbuhkan benih-benih CU tersesebut banyak pihak luar negeri memberikan support dalam hal meberikan bantuan dana untuk pendidikan. Lembaga tersebut antara lain; Cibemo dari Netherland, Mizerior dari German, Intercooporation dari Swiss, KAS dari German, CCA dari Kanada. Lembaga-lembaga inilah yang mensupor dana untuk melaksanakan pelatihan dan pendidikan sehingga Credit Union dapat bertumbuh merata di seluruh wilayah Indonesia. Lembaga-lembaga tersebut mulai menghentikan bantuan sejak tahun 1990-2000 dan saat ini CUCO - Indonesia telah berusaha untuk membiayai sendiri semua aktivitas baik pelatihan dan pendidikan, Pembinaan dan monitoring di tiap wilayah kerja di seluruh Indonesia. Hampir 30 tahun (1970-2000) Gerakan Koperasi Kredit baru menanamkan filosofis dan prinsip-prinsip Koperasi Kredit dan belum mengarahkan kepada pengelolaan yang berbasis pada kelayakan ekonomi dan bisnis. Hal ini dapat dilihat pada jumlah Credit Union primer pada tahun 1995 mencapai posisi tertinggi (sekitar 1600 CU primer) dan setelah itu perlahan-lahan jumlah tersebut menurun namun total simpanan, total anggota dan total asset bertambah. Lihat data pengurus per periode.

KONDISI SAAT INI

Perlu disadari bahwa sistem organisasi  Gerakan Koperasi Kredit Indonesia agak berbeda dengan sistem organisasi Gerakan Credit Union Asia pada umumnya. Gerakan Koperasi Kredit Indonesia dengan alasan bahwa Negara Indonesia terdiri dari pulau-pulau, maka dipertahankan sampai saat ini masih sistem tiga jenjang. Jenjang pertama adalah Koperasi Kredit primer (CU primer), jenjang kedua adalah Pusat Koperasi Kredit (Puskopdit) yang ada di propinsi atau beberapa kabupaten, jenjang ke tiga adalah Sekunder Nasinonal yaitu Induk Koperasi Kredit (Inkopdit). Melaksanakan sistem tiga jenjang ini ada baik dan ada buruknya, sehingga mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan usaha dari Koperasi Kredit secara keseluruhan.

Dengan setapak demi setapak CUCO-Indonesia berusaha untuk mengelola usaha dengan dana yang bersumber dari internal gerakan yaitu; Interlending, Iuran Solidaritas dan Dana Perlindungan Bersama (Daperma). Mitra dari luar negeri sudah tidak lagi membiayai operasional bahkan biaya pendidikanpun dananya bersumber dari internal CUCO-Indonesia. Pada saat Indonesia dilanda dengan krisis multi dimensi (khususnya krisis ekonomi) sejak tahun 1998 CUCO-Indonesia mengkonsolidasi kegiatan dan sumber Daya sehingga dapat meneruskan aktivitas walaupun sedikit terganggu. Peristiwa tersebut menjadi bahan pelajaran bagi manajemen CUCO-Indonesia bagaimana mengelola dana yang jumlah terbatas namun dapat melaksanakan kegiatan yang telah direncanakan.

Sebelum ACCU membantu CUCO-Indonesia lewat program Indequa, Credit Union Microfinance Innovation (CUMI), Credit Union Competency Course (CUCC) dan Credit Union Directors Competency Course (CUDCC), CUCO-Indonesia telah melaksanakan program Pelatihan Pengurus dan Pelatihan Manager yang di support oleh Canadian Cooperative Asossiation (CCA) dari Kanada. Hal ini sangat memberikan pengaruh besar terhadap perubahan pola pikir baik para Pengurus maupun para manager Credit Union dari pola pikir sekedar arena kumpul-kumpul kearah pola pikir bahwa Credit Union adalah bisnis yang dimiliki oleh anggota dan untuk kesejahteraan anggotanya.

Saat ini dengan adanya alat manajemen yang cukup canggih dikenalkan oleh ACCU yaitu Asses Branding maka menambah wawasan para pengurus dan Manager untuk meningkatkan kapasitas bangunan organisasi, manajemen dan Usaha yang semuanya harus direncanakan, ditindaklanjuti, secara konsisten dan diawasi dan pada akhirnya dievaluasi dengan Asses Branding. Semua strategi organisasi, manajemen dan usaha harus mengarahkan sesuai dengan metode Asses Branding. Karena itu sebelum melaksanakan Asses Branding, semua kopdit harus berusaha untuk proses profesionalisasi yang hakekatnya adalah perubahan metode pengelolaan tradisional ke arah pengelolaan secara professional.

Faktanya memang harus diakui bahwa dari 900 Credit Union yang ada mungkin 30 % yang mengikuti dan mengalami perubahan dan 70 % perubahan sangat pelan. Hal ini dapat dibuktikan bahwa masih banyak Credit union yang tidak mau mengangkat manager dan masih dikelola secara partime oleh pengurusnya, masih banyak Credit Union yang tidak menjalankan proses regenerasi dan tetap mempertahankan figure dari pendiri, masih banyak Credit union belum mau menggunakan software komputer masih sistem manual, masih banyak yang belum memiliki kantor dan hanya numpang pada rumah pengurus, masih banyak yang tidak mengikuti program Daperma dan ingin menanggung resiko sendiri-sendiri, padahal CUCO-Indonesia telah menetapkan criteria kopdit Ideal sejak tahun 2005.
Tahun 2005 CUCO-Indoneisa telah menetapkan kriteria Koperasi Kredit Ideal yang meliputi beberapa komponen antara lain;
  • Sudah memiliki Badan Hukum Koperasi
  • Anggota minimal 1000 orang
  • Total Asset minimal Rp.1.000.000.000,-
  • Dikelola oleh karyawan atau Manager secara profesional
  • Pelayanan secara harian (enam hari seminggu)
  • Memiliki kantor permanent
  • Memiliki dan menerapkan Perencanaan Strategis
  • Memiliki Standar Operasional Manajemen (SOM) dan Standar Operasional Prosedur (SOP)
  • Menerapkan Teknologi informasi ( software computer, Email, website)
  • Pertumbuhan anggota minimal 35 % pertahun.


Dari 10 kriteria kopdit Ideal tersebut, ada sebagaian kecil kopdit telah melampaui sangat jauh, ada pula yang masih mendekati, namun ada pula yang masih jauh dibawah kriteria tersebut. Bagi yang telah melampaui dari kriteri tersebut kita sarankan untuk mengikuti program Asses Branding, bagi yang mendekati kita dorong agar secepatnya mencapai kriteria tersebut dan bagi yang masih jauh dibelakang kita sarankan agar mereka dengan sukarela mau bergabung dengan yang lain (amalgamasi). Lihat data perkembangan kopdit.

IMPIAN MASA DEPAN

CUCO-Indonesia sudah 40 tahun bekerja, penuh dengan pengalaman yang suka maupun yang duka. Dari empat puluh tahun tersebut dapat dibagi ke dalam tiga masa pengembangan yaitu pertama, masa persemaian; kedua, masa pertumbuhan; ketiga, masa penguatan atau masa intensifikasi. Masa penguatan ini meliputi Penguatan Organisasi, Penguatan Manajemen dan Penguatan Usaha. Sejak tahun 2001 masa penguatan telah dijalankan, walaupun belum seluruhnya berjalan sesuai dengan rencana. Masa penguatan ditandai dengan dikenalkannya dengan pelayanan minimum dengan adanya kriteria kopdit ideal sejak tahun 2005

Jika kita menganalisa secara global maka beberapa kriteria kopdit Ideal itu sudah terpenuhi misalnya Rata-rata Asset per Kopdit Rp.8.735.152.566,- yaitu Rp.8,097 triliun dibagi dengan 927 kopdit. Demikian juga rata-rata jumlah anggota per kopdit ada 1.500 orang, dari 1.390.260 orang dibagai dengan 927 kopdit. Yang pelum tercapai adalah penguatan manajemen yang masih jauh dari harapan, hal ini dapat dibuktikan dengan penggunaan IT (Informasi dan Teknologi) baru 350 kopdit atau 38%, yang telah menggunakan Manager dengan wewenang penuh baru 250 kopdit atau 27%. Hal ini harus menjadi prioritas untuk 10 tahun ke depan sehingga Gerakan Koperasi Kredit Indonesia akan tergolong Gerakan Koperasi Kredit “lima besar se Asia” dari segi  total Asset, jumlah anggota dan kualitas pelayanan.

Agar mencapai impian tersebut maka diperlukan suatu Rencana Strategis baru dengan penetapan sasaran yang fokus, terarah dan terintegrasi dari jenjang kopdit primer sampai kepada jenjang Inkopdit. Tanpa terintegrasi maka tidak akan menjadi suatu kekuatan yang nyata karena biasa terjadi pertumbuhannya tidak merata dan lebih fatal lagi akan terjadi kopdit/CU yang kuat menelan yang lemah atau kopdit/CU yang lambat akan ditinggalkan oleh yang cepat. Perencaan bersama merupakan suatu opsi jalan keluar, sehingga kopdit/CU yang masih kecil mendengar dan mau menerima masukan dari kopdit/CU yang besar, Kopdit/CU yang besar mau dan bersedia menggandeng tangan bagi kopdit/CU yang kecil.

Dalam rangka mencapai impian gerakan koperasi kredit lima besar se Asia maka diperlukan kriteria kopdit/CU ideal tahun 2020 yang akan datang dengan kreteria sebagai berikut;
  • Minimal anggota 20.000 orang
  • Minimal Asset kopdit/CU Rp.100.milyar dengan simpanan saham Rp.80 milyar
  • Penggunaan IT online dengan cabang-cabangnya
  • Memiliki kantor permanen yang standar memenuhi kebutuhan kopdi/CU ideal
  • 50 % dari kopdit/CU melaksanakan Asses Brending
  • Setiap kopdit/CU memiliki SOM dan SOP.7.Pertumbuhan anggota pertahun 25 %


Sumber :

Credit Union Indonesia

Gerakan Koperasi Kredit Indonesia sudah mulai muncul di Indonesia sejak tahun 1970 ide awal datang dari  staf Woccu yang namanya AA. Bailey dan Agustine R. Kang berkunjung ke Indonesia pada tahun 1967 dan diterima oleh suatu Lembaga Swadaya di Indonesia yaitu MAWI (Majelis Wali Gereja Indonesia) seksi sosial ekonomi. Beberapa Rohaniwan Katholik yang ditugaskan untuk pengembangan sosial ekonomi dan khusus untuk pengembangan Credit Union ditugaskan kepada Rev.Karl Albrecht, SY yang dikenal dengan nama Indonesia adalah Romo Albrecht Karim Arbie, SY sebagai pendiri Credit Union di Indonesia. Setelah nama tersebut muncul nama-nama berikut antara lain; Robby Tulus, AG. Lunandi, M. Woeryadi, P.M Sitanggang, Ibnoe Soedjono, H.Woeryanto dan lain-lain yang namanya tidak dapat disebut satu persatu.

Saat itu Rev.Karl Albrecht, SY dan bersama teman-teman mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat  yang disebut dengan CUCO (Credit Union Counselling Office) pada tahun 1970 yaitu suatu lembaga untuk memberikan konsultasi kepada msyarakat untuk mengembangkan Credit Union di seluruh wilayah Indonesia. Gagasan ini awalnya kurang mendapat tanggapan positif dari Pemerintah bahkan juga sebagian warga Gereja Katolik tidak menerimanya, karena masih trauma dengan terjadi begitu banyak koperasi di Indonesia dimasa lalu namun Romo Albrecht dan kawan-kawan tetap menjalankanya. Sekitar akhir tahun tujuh puluan, Romo Albrecht hanya setahun menjadi Directur CUCO dan mengundurkan diri selanjutnya diserahkan tugasnya kepada Drs. Robby Tulus untuk melanjutkan usaha pengembangan Credit Union di Indonesia. Mulai akhir tahun 1970 data Credit union sudah mulai dicatat sebanyak 9 CU, jumlah anggota 763 orang dan total Asset Rp.1.342.570,-

Pada masa rejim Pemerintahan ORBA pertumbuhan Credit Union sangat terhalang dengan adanya Peraturan Pemerintah lewat Instruksi Presiden No.4 tahun 1984 yang intinya melarang Koperasi, selain Koperasi Unit Desa yang ada di pedesaan. Dengan demikian Credit Union banyak yang melaksanakan kegiatan dengan sembunyi karena takut di bubarkan oleh Pemerintah, terutama di pedesaan. Namun setelah rjim ORBA berakhir dan muncul rejim Revormasi maka Inpres No. 4 tahun 1984 dihapus dan tidak berlaku lagi dan mulai saat itulah pengembangan Credit Union mulai bebas untuk berkumpul dan melaksanakan pendidikan baik di kota maupun di daerah pedesaan. Mulai saat itulah para penggerak mulai melakukan aktivitas penumbuhkan benih-benih Credit Union di seluruh Indonesia.

Dalam usaha menumbuhkan benih-benih CU tersesebut banyak pihak luar negeri memberikan support dalam hal meberikan bantuan dana untuk pendidikan. Lembaga tersebut antara lain; Cibemo dari Netherland, Mizerior dari German, Intercooporation dari Swiss, KAS dari German, CCA dari Kanada. Lembaga-lembaga inilah yang mensupor dana untuk melaksanakan pelatihan dan pendidikan sehingga Credit Union dapat bertumbuh merata di seluruh wilayah Indonesia. Lembaga-lembaga tersebut mulai menghentikan bantuan sejak tahun 1990-2000 dan saat ini CUCO - Indonesia telah berusaha untuk membiayai sendiri semua aktivitas baik pelatihan dan pendidikan, Pembinaan dan monitoring di tiap wilayah kerja di seluruh Indonesia. Hampir 30 tahun (1970-2000) Gerakan Koperasi Kredit baru menanamkan filosofis dan prinsip-prinsip Koperasi Kredit dan belum mengarahkan kepada pengelolaan yang berbasis pada kelayakan ekonomi dan bisnis. Hal ini dapat dilihat pada jumlah Credit Union primer pada tahun 1995 mencapai posisi tertinggi (sekitar 1600 CU primer) dan setelah itu perlahan-lahan jumlah tersebut menurun namun total simpanan, total anggota dan total asset bertambah. Lihat data pengurus per periode.

KONDISI SAAT INI

Perlu disadari bahwa sistem organisasi  Gerakan Koperasi Kredit Indonesia agak berbeda dengan sistem organisasi Gerakan Credit Union Asia pada umumnya. Gerakan Koperasi Kredit Indonesia dengan alasan bahwa Negara Indonesia terdiri dari pulau-pulau, maka dipertahankan sampai saat ini masih sistem tiga jenjang. Jenjang pertama adalah Koperasi Kredit primer (CU primer), jenjang kedua adalah Pusat Koperasi Kredit (Puskopdit) yang ada di propinsi atau beberapa kabupaten, jenjang ke tiga adalah Sekunder Nasinonal yaitu Induk Koperasi Kredit (Inkopdit). Melaksanakan sistem tiga jenjang ini ada baik dan ada buruknya, sehingga mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan usaha dari Koperasi Kredit secara keseluruhan.

Dengan setapak demi setapak CUCO-Indonesia berusaha untuk mengelola usaha dengan dana yang bersumber dari internal gerakan yaitu; Interlending, Iuran Solidaritas dan Dana Perlindungan Bersama (Daperma). Mitra dari luar negeri sudah tidak lagi membiayai operasional bahkan biaya pendidikanpun dananya bersumber dari internal CUCO-Indonesia. Pada saat Indonesia dilanda dengan krisis multi dimensi (khususnya krisis ekonomi) sejak tahun 1998 CUCO-Indonesia mengkonsolidasi kegiatan dan sumber Daya sehingga dapat meneruskan aktivitas walaupun sedikit terganggu. Peristiwa tersebut menjadi bahan pelajaran bagi manajemen CUCO-Indonesia bagaimana mengelola dana yang jumlah terbatas namun dapat melaksanakan kegiatan yang telah direncanakan.

Sebelum ACCU membantu CUCO-Indonesia lewat program Indequa, Credit Union Microfinance Innovation (CUMI), Credit Union Competency Course (CUCC) dan Credit Union Directors Competency Course (CUDCC), CUCO-Indonesia telah melaksanakan program Pelatihan Pengurus dan Pelatihan Manager yang di support oleh Canadian Cooperative Asossiation (CCA) dari Kanada. Hal ini sangat memberikan pengaruh besar terhadap perubahan pola pikir baik para Pengurus maupun para manager Credit Union dari pola pikir sekedar arena kumpul-kumpul kearah pola pikir bahwa Credit Union adalah bisnis yang dimiliki oleh anggota dan untuk kesejahteraan anggotanya.

Saat ini dengan adanya alat manajemen yang cukup canggih dikenalkan oleh ACCU yaitu Asses Branding maka menambah wawasan para pengurus dan Manager untuk meningkatkan kapasitas bangunan organisasi, manajemen dan Usaha yang semuanya harus direncanakan, ditindaklanjuti, secara konsisten dan diawasi dan pada akhirnya dievaluasi dengan Asses Branding. Semua strategi organisasi, manajemen dan usaha harus mengarahkan sesuai dengan metode Asses Branding. Karena itu sebelum melaksanakan Asses Branding, semua kopdit harus berusaha untuk proses profesionalisasi yang hakekatnya adalah perubahan metode pengelolaan tradisional ke arah pengelolaan secara professional.

Faktanya memang harus diakui bahwa dari 900 Credit Union yang ada mungkin 30 % yang mengikuti dan mengalami perubahan dan 70 % perubahan sangat pelan. Hal ini dapat dibuktikan bahwa masih banyak Credit union yang tidak mau mengangkat manager dan masih dikelola secara partime oleh pengurusnya, masih banyak Credit Union yang tidak menjalankan proses regenerasi dan tetap mempertahankan figure dari pendiri, masih banyak Credit union belum mau menggunakan software komputer masih sistem manual, masih banyak yang belum memiliki kantor dan hanya numpang pada rumah pengurus, masih banyak yang tidak mengikuti program Daperma dan ingin menanggung resiko sendiri-sendiri, padahal CUCO-Indonesia telah menetapkan criteria kopdit Ideal sejak tahun 2005.
Tahun 2005 CUCO-Indoneisa telah menetapkan kriteria Koperasi Kredit Ideal yang meliputi beberapa komponen antara lain;
  • Sudah memiliki Badan Hukum Koperasi
  • Anggota minimal 1000 orang
  • Total Asset minimal Rp.1.000.000.000,-
  • Dikelola oleh karyawan atau Manager secara profesional
  • Pelayanan secara harian (enam hari seminggu)
  • Memiliki kantor permanent
  • Memiliki dan menerapkan Perencanaan Strategis
  • Memiliki Standar Operasional Manajemen (SOM) dan Standar Operasional Prosedur (SOP)
  • Menerapkan Teknologi informasi ( software computer, Email, website)
  • Pertumbuhan anggota minimal 35 % pertahun.


Dari 10 kriteria kopdit Ideal tersebut, ada sebagaian kecil kopdit telah melampaui sangat jauh, ada pula yang masih mendekati, namun ada pula yang masih jauh dibawah kriteria tersebut. Bagi yang telah melampaui dari kriteri tersebut kita sarankan untuk mengikuti program Asses Branding, bagi yang mendekati kita dorong agar secepatnya mencapai kriteria tersebut dan bagi yang masih jauh dibelakang kita sarankan agar mereka dengan sukarela mau bergabung dengan yang lain (amalgamasi). Lihat data perkembangan kopdit.

IMPIAN MASA DEPAN

CUCO-Indonesia sudah 40 tahun bekerja, penuh dengan pengalaman yang suka maupun yang duka. Dari empat puluh tahun tersebut dapat dibagi ke dalam tiga masa pengembangan yaitu pertama, masa persemaian; kedua, masa pertumbuhan; ketiga, masa penguatan atau masa intensifikasi. Masa penguatan ini meliputi Penguatan Organisasi, Penguatan Manajemen dan Penguatan Usaha. Sejak tahun 2001 masa penguatan telah dijalankan, walaupun belum seluruhnya berjalan sesuai dengan rencana. Masa penguatan ditandai dengan dikenalkannya dengan pelayanan minimum dengan adanya kriteria kopdit ideal sejak tahun 2005

Jika kita menganalisa secara global maka beberapa kriteria kopdit Ideal itu sudah terpenuhi misalnya Rata-rata Asset per Kopdit Rp.8.735.152.566,- yaitu Rp.8,097 triliun dibagi dengan 927 kopdit. Demikian juga rata-rata jumlah anggota per kopdit ada 1.500 orang, dari 1.390.260 orang dibagai dengan 927 kopdit. Yang pelum tercapai adalah penguatan manajemen yang masih jauh dari harapan, hal ini dapat dibuktikan dengan penggunaan IT (Informasi dan Teknologi) baru 350 kopdit atau 38%, yang telah menggunakan Manager dengan wewenang penuh baru 250 kopdit atau 27%. Hal ini harus menjadi prioritas untuk 10 tahun ke depan sehingga Gerakan Koperasi Kredit Indonesia akan tergolong Gerakan Koperasi Kredit “lima besar se Asia” dari segi  total Asset, jumlah anggota dan kualitas pelayanan.

Agar mencapai impian tersebut maka diperlukan suatu Rencana Strategis baru dengan penetapan sasaran yang fokus, terarah dan terintegrasi dari jenjang kopdit primer sampai kepada jenjang Inkopdit. Tanpa terintegrasi maka tidak akan menjadi suatu kekuatan yang nyata karena biasa terjadi pertumbuhannya tidak merata dan lebih fatal lagi akan terjadi kopdit/CU yang kuat menelan yang lemah atau kopdit/CU yang lambat akan ditinggalkan oleh yang cepat. Perencaan bersama merupakan suatu opsi jalan keluar, sehingga kopdit/CU yang masih kecil mendengar dan mau menerima masukan dari kopdit/CU yang besar, Kopdit/CU yang besar mau dan bersedia menggandeng tangan bagi kopdit/CU yang kecil.

Dalam rangka mencapai impian gerakan koperasi kredit lima besar se Asia maka diperlukan kriteria kopdit/CU ideal tahun 2020 yang akan datang dengan kreteria sebagai berikut;
  • Minimal anggota 20.000 orang
  • Minimal Asset kopdit/CU Rp.100.milyar dengan simpanan saham Rp.80 milyar
  • Penggunaan IT online dengan cabang-cabangnya
  • Memiliki kantor permanen yang standar memenuhi kebutuhan kopdi/CU ideal
  • 50 % dari kopdit/CU melaksanakan Asses Brending
  • Setiap kopdit/CU memiliki SOM dan SOP.7.Pertumbuhan anggota pertahun 25 %


Sumber :